Sabtu, 31 Mei 2008

Filsafat Fenomenologi

I. LATAR BELAKANG

Pelopor filsafat fenomonologi yang pertama adalah Edmund Husserl (1859-1938). Filsafat ini sebenarnya sudah ada sebelum dia (I. Kant dan Hegel). Namun Edmund tertarik untuk membahasnya. Latar belakang fenomonologi ini adalah tentang pembahasan antara dunia yang nyata (noumenal) dan dunia yang tampak oleh individu (phenomenal atau gejala).
Sesuai dengan perkembangan pemikiran, maka pada abad ke 20 dijiwai dengan pandangan yang mengatakan bahwa cara yang paling baik untuk menemukan kebenaran di bidang filsafat adalah dengan cara yang sadar meninggalkan apa yang disumbangkan oleh para pemikir filsafat yang terdahulu di bidang tersebut.
Pandangan yang demikian menyebabkan pada umumnya dari abad ke 20 terdapat bermacam-macam aliran yang berdiri sendiri-sendiri dan terdapat diberbagai negara. Masing-masing aliran tersebut, berupaya menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat disekitarnya. Pada zaman parohan abad ke 20 ini umpamanya terdapat aliran Pragmatisme di Inggris dan Amerika, filsafat hidup di Perancis dan Jerman, Fenomonologi dan masih ada yang lainnya.
Tetapi pada pembahasan ini tidak akan membahas semua aliran yang ada. Yang akan di bahas pada berikutnya adalah filasat mengenai fenomonologi.
II. Isi
kata fenomenologi berasal dari kata Yunani “fenomenon” yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia disebut “gejala”. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau gejala segala sesuatu yang menampakkan diri.

Tokoh-tokoh dari paham filsafat fenomenologi antara lain :
1. Edmund Husserl
Menurut Husserl, hukum-hukum logika yang memberikan kepastian, yang berlaku, tidak mungkin bersifat a posteriori, sebagai hasil pengamatan a priori.
Dalam bentuknya yang paling dasar, metode fenomenologis adalah upaya untuk kembali kepada pendekatan sebelum timbulnya teori tentang kesadaran pokok dalam diri seseorang. Metode mencoba untuk memberikan deskripsi yang murni “netral” tentang kesadaran seseorang mengenai dunia, sebelum ia sempat berpikir tentang hal tersebut dengan berbagai pertimbangan. Dalam hal ini metode fenomenologis menyatakan diri sebagai metode tanpa praduga, di mana fakta-fakta nyata dari pengalaman utama seseorang sudah cukup jelas.
Dalam metode ini terdapat tiga pendekatan sebagai landasan yang benar-benar pasti bagi pengetahuan :
 Reduksi fenomenologis adalah upaya untuk menghindari praduga-praduga dengan menangguhkan segala pertanyaan tentang eksistensi.
 Reduksi eidetis ialah mereduksi persepsi seseorang terhadap dunia menjadi bentuk pengertian yang intuitif, seseorang dapat meringkas keseluruhan aktifitas mental menjadi sebuah ide.
 Reduksi transendental, atau pengakuan bahwa yang dibuat oleh manusia menunjukkan pada si pembuat arti. Artinya semua pernyataan menunjukkan pada si pembuat pernyataan “ada saya” dibalik setiap “saya berpikir”.
2. Max Scheler
Sesuai dengan pendapat Husserl diatas, Scheler juga mengalami perkembangan. Di mana ia adalah seorang yang realis,, yang memusatkan perhatiannya kepada kenyataan dan hidup yang kongkrit yaitu ditinjau dari sudut nilai, pribadi, manusia dan kasih.
 Nilai adalah hal yang dituju oleh perasaan, yang mewujudkan a priori emosi. Mengalami nilai tidak sama dengan mengalami secara umum, dalam mendengar, melihat, mencium dan lain-lainnya. Akal tidak dapat melihat nilai, sebab nilai tampil jikalau ada rasa yang diarahkan kepada sesuatu atau dapat di katakan nilai bukan sesuatu yang formal.
 Pribadi, tidak sama dengan mahluk yang berjiwa tetapi pribadi adalah hal-hal yang mencakup kepenuhan segala indera, kedewasaan dan kecakapan untuk memilih (pribadi hanya berada di dalam pelaksanaan perbuatan-perbuatan).
 Manusia, menurut Scheler manusia sebagai mahluk yang hidup bukan hanya timbul dari binatang, tetapi ia adalah binatang, dahulu sampai selama-lamanya. Namun manusia adalah binatang yang berpikir yang tidak dapat menyerah kepada alam.
 Kasih, menurut Scheler kasih tidak sama dengan turut merasakan rasa orang lain, sebab kasih bukan perasaan, dan tidak perlu harus diarahkan kepada orang lain, tetapi juga dapat diarahkan kepada diri sendiri. jadi kasih sejati adalah kasih yang mengarah kepada suatu person (pribadi) bukan kepada nilai sebagai nilai.

INTERAKSI
Kelebihan

 Setiap individu di paksa berpikir apa yang ditemukan itu benar atau tidak benar. Sehingga setiap individu yang berpikir tersebut cenderung berhasil,dan hasilnya dapat disumbangkan kepada publik sebagai objek. Hal ini akan membantu setiap kesulitan masyarakat.
Contoh : Dalam pembuatan mesin sebagai pengganti tenaga manusia.

kekurangan
 segala sesuatu yang dipentingkan adalah yang fenomena yang nyata (rasio) dan yang tidak terlihat (diluar rasio) adalah belum dinyatakan suatu kebenaran. Maka hal ini sangat bertentangan dengan iman kekristenan, dimana rasio adalah hal yang utama dari pada iman.
 Manusia dikatakan adalah binatang yang berpikir dan selalu ingin menaklukkan alam.
 Pribadi dikatakan pribadi karena mempunyai kepenuhan segala indera.

Daftar pustaka
1. Snijers, Adelbert. Antropologi Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan, Yogyakarta : Kanisius 2004.
2. Hadiwijono, Harun. Sari sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius 1980.
3. Geisler & Paul D. Feinberg. Filsafat dari Perspektif Kristiani, Malang : Gandum Mas 2002.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

tulisan anda lumayan bagus2 tapi perlu anda pelajari bagaimana cara menulis yang baik