Senin, 12 Mei 2008

Menanggapi karya tulis “Pengantar Sejarah Dogma Kristen” oleh : Bernhard Lohse

A. Pendahuluan
Untuk memikirkan dan praktisnya suatu dogma dari sejarah Dogma Kristen maka adalah suatu kesatuan dogma yang dipikirkan Katolik Roma dan tidak di perbolehkan adanya dogma yang berbeda sebagaimana yang dibuat Katolik Roma “Apabila ada perbedaan dogma bagi dikalangan kekristenan maka dianggap bidat dan melawan kebenaran firman Allah”. Kemudian sekian lama hanya dogma Roma Katolik yang dianggap kaum awam benar dan secara praktisnya dilakukan termasuk Martin Luther pernah mengakuinya
Namun setelah itu muncul Reformasi yang dipelopori Martin Luther, sebagaimana dogma Roma Katolik dianggap keliru dan harus diperbaharui. Pembaharuan dogma tidak hanya dari pemikiran Martin Luther tetapi dari kalangan bapa-bapa teolog, pada akhirnya muncul suatu kontroversi-kontroversi yang tidak pernah berakhir sampai saat ini. Setelah sekian lama mengalami kontrpversi maka, hanya iman kepada Kristus menyelamatkan manusia dari keberdosaan tidak pernah diperdebatkan, dan diakui secara sah dan valid untuk selama-lamanya.
Untuk itu, Lohse mengatakan definisi dogma, tujuan dogma serta prakteknya yang berarti. Boleh beda tetapi tetap satu atap di dalam iman kepada Kristus yang menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan kekal. Kontroversi jugalah menghantarkan kekristenan kepada iman yang semakin benar.

B. Defenisi Dogma
Lohse mengatakan bahwa dogma adalah suatu kesepakatan luas terhadap akibat dari pemahaman dogma-dogma sebagai dalil-dalil ajaran, sejajar dengan dalil-dalil yang diberikan suatu mazhab filsafat. Pengertian ini juga berdasarkan pemikiran Gereja katolik Roma. Namun dalam studi mengenai konsep dogma, seorang sarjana Yesuit, A. Deneffe, memberikan defenisi yang tepat, sesuai dengan pandangan kebanyakan teolog Katolik, yaitu : Dogma est veritas o Deo formaliter revelata et Ecclesia sive sollemniter sive ordinare definite. Diterjemahkan sebagi berikut dogma adalah suatu kebenaran yang, sejauh ini yang dimaksudkan objektif, dinyatakan oleh Allah dan didefinisikan oleh Gereja.
Demikian juga dengan pihak Protestan mendefinisikan dogma secara serupa. Harnack misalnya menulis : “dogma-dogma gereja adalah doktrin-doktirn dari iman Kristen yang diformulasikan secara logis dan diungkapkan bagi tujuan-tujuan ilmiah dan apologetis; doktrin-doktrin mencakup pengetahun tentang Allah, dunia dan penyelamatan yang terjadi melalui Kristus, serta menggambarkan isi agama yang objektif.
Selanjutnya bagi para ahli sejarah dogma dan teolog sistematika berbeda persepsi dengan Harnack, seperti yang diterbitkan, yaitu Walter Kohler dan Martin Werner, mengatakan dogma dapat dipahami sebagai sekedar ungkapan yang bersifat umum dari iman Kristen oleh persekutuan Kristen, berkenaan dengan isi penyataan Kristen. Menurut mereka ini pengertian atau defenisi tidaklah terlalu penting tetapi sejarah dogma sebagai sejarah Kesadaran-diri Kristen. Tidak kalah dengan alasan atau ungkapan yang diberikan Karl Barth yakni persesuaian dari proklamasi Gereja dengan penyataan yang disaksikan dalam Alkitab.
Dengan demikian terdapatlah kemungkinan untuk melihat hakikat problematis dari dogma-dogma yang bersifat individual, tetapi sementara itu tetap menghargai dogma-dogma tersebut sebagai upaya mengungkapkan kebenarn pernyataan.

C. Sejarah dogma
Bagi Katolik Roma mengenai dogma, yang kemudian yang secara luas diambil-alih oleh pihak protestan. Konsep dogma pada masa itu tidak dikenal, selama abad-abad permulaan. Sebagaimana juga adanya pertikaian antara Arius dan Alexander tentang tabiat Kristus yang disebut setengah manusia dan setengah Allah. Dari pertikaian diatas maka dapat dikatakan bahwa itu adalah ajaran dogma kekristenan pada awal pertama-tama. Maka tidak mengherankan muncul persoalan yang kemudian disebut “dogma” yang melahirkan keputusan Konsili Nicea tahun 325 M, dengan rumusan memecahkan masalah teologi bahwa Bapa dan Anak (Logos dengan Allah) adalah satu dan tidak dapat dipisahkan sama sekali. Apa yang dilakukan para bapa Konsili adalah hanyalah sekedar mengetengahkan suatu pengakuan iman (konfesi) mereka.
Kemudian diikuti dengan konsili Chalcedon (451 M), yang mengatakan “mengajarkan bahwa seseorang mestinya mengaku…..” dogma-dogma memperoleh perannya sebagai yang tidak dapat keliru, dalam arti dalil-dalil ajaran yang tidak dapat keliru setidak-tidaknya sebagian sebagai akibat penetapan dogma-dogma itu dalam undang-undang kekaisaran. Untuk itu pada abad pertengahan Gereja Katolik memperkembangkan ajaran tentang defositum fidei, yaitu suatu konsepsi bahwa kepada gereja telah dipercayakan sejumlah perbendaharaan kebenaran. Alasan dari klaim ini adalah suatu dalil iman yang dinyatakan bukanlah watak dari Gereja purba. Pemahaman ini muncul karena faktor-faktor histories.
Tetapi pihak Protestan tidak pernah mengakui secara resmi bahwa dalil-dalil iman tersebut tidak dapat keliru. Luther dan para reformator memang mengakui kewibawaan keputusan-keputusan konsili gereja purba, namun hal itu dibuat karena pemahaman defositum fidei, tetapi juga harus sesuai dengan Alkitab. Juga Reformasi yang dicanangkan Luther tak dapat lepas dari perkembangan situasi kerohanian atau kegerejaan, maupun situasi sosial politik, budaya (dan bahkan ekonomi) di Eropa pada masa itu .
Lohse sebagai penulis buku ini, mengungkapkan sejauh menyangkut kesinambungan sejarah dogma, maka tidak dapat diragukan bahwa Yesus membuat suatu klaim yang unik, yaitu bahwa Yesus tidak pernah merasa puas hanya dengan mengajarkan tetapi menantang orang-orang untuk berpaut kepada-Nya. Dengan kata lain mengakui Dia sebagai Tuhan. Dengan pengertian “Akulah Allah”. Tidak lain akhirnya Injil adalah suatu kenyataan yang paling realitas dari segala apa yang dibahas.
Selanjutnya Lohse mengungkapkan bahwa wibawa dogma-dogma mestilah dapat di interpresentasikan dan relevan atas pertanyaan-pertanyaan yang mencari jawaban atas dogma siapa yang lebih baik “benar” tersebut pada masa kini. Walaupun ada pertanyaan yang belum bisa dijawab dan diungkapkan, maka adakalanya melakukan suatu peninjauan ulang terhadap seluruh kebenaran Kristen. Demikian juga seorang ahli sejarah dogma, Friedrich Loofs mengatakan kritik-kritik yang tajam terhadap dogma-dogma lebih disukai daripada sikap ketidakperdulian.

D. Kanon dan Pengakuan Iman
- Pembentukan kanon Perjanjian Lama
Berbicara tentang kanon, Lohse berkata itu disebabkan karena maknanya yang sangat penting. Kenyataan bahwa kekristenan mempunyai kanon dari tulisan-tulisan suci sebagai dasar pemberitaan dan ajaran yang dapat diterangkan, setidak-tidaknya dari titik pandang yang bersifat lahiriah, yaitu atas dasar contoh yang diberikan Yudaisme. Sebagaimana dikatakan bahwa Yudaisme telah melengkapkan kanon Perjanjian Lama pada saat-saat Yesus hidup, walaupun belum selesai (fixed) hingga pada sinode Yahudi yang diadakan di Jamnia sekitar tahun 100 M. Namun pemahaman Kristen dan Yahudi terhadap Perjanjian Lama adakalanya dikatakan berbeda, tetapi Yesus menghendaki pemberitaan maksud asali Allah, yang sekarang ini menyatakan diri dalam Dia.
Sejarah penulisan Kitab Perjanjian Baru ditulis sebelum tahun 100 M, yang gereja kemudian secara teratur dipakai oleh gereja-gereja dalam kebaktian-kebaktian, dipandang sebagai kriteria bagi bacaan jemaat, juga dipakai dalam pengajaran katekisasi. Tentu juga dipergunakan dengan maksud-maksud teologis. Lebih menegangkan lagi, seorang pemimpin bidat, Swedenborg yang sudah mempermandikan seseorang, menyerahkan Alkitab dengan tangan kiri dan dengan kitab karangannya ditangan kanan . Dosen teologi bernama Yopie M. Rattu mengutip dari J. Verkuil mendefinisikan Bidat sebagai berasal dari kata Arab bid(a)ah yang berarti “menyimpang dari ajaran yang sebenarnya .
Kanon Perjanjian Lama dipahami oleh orang Yahudi sebgai miliknya dan bukan milik gereja dan Kanon Perjanjian Baru tidak dianggap sebagai satu kesatuan atau yang berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan. Pendirian ini diungkapkan oleh Yustinus Martyr. Maka disebut bahwa Perjanjian Lama adalah milik gereja dan bukan milik Yahudi, karena makna dari teks-teks Perjanjian Lama digenapi di dalam Yesus Kristus.
Dua metode yang dipergunakan gereja purba untuk membuka rahasia pemahaman yang lebih dalam dari Alkitab. Hal yang pertama disebutkan, interpretasi alegoris dan interpretasi tipologi. Terhadap kedua metode ini dan pada saat yang sama adalah juga mungkin untuk memperlihatkan bahwa pemahaman teks tidak hanya dibatasi pada periode asal usul teks tersebut tetapi ia juga menunjuk pada masa yang akan datang. Interpretasi ini dianggap sesuai dengan rencana Ilahi terhadap sejarah, yang terentang dari penciptaan sampai kepengadilan terakhir, mencapai klimaknya dalam Yesus Kristus.
- Pembentukan kanon Perjanjian Baru
Alasan gereja sebagai yang beriman mengakui wibawa perkataan Allah tidak dapat dihapus atau dimanipulasi, seperti ucapan Yesus “langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak berlalu” (Mat 24 : 35). Paulus sendiri dengan sangat hati-hati membedakan pikirannya dengan ucapan-ucapan Yesus sendiri ( I Tes 4 : 15 ; 1 Kor 7 : 10,12,24; 9 : 14) dengan tanpa komentar. Di samping hal tersebut diatas adalah menarik bahwa formula “telah tertulis”, yang dengannya kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama diperkenankan, dipakai untuk mengacu pada ucapan-ucapan Yesus, sebagaimana nampak dalam Surat Barnabas (sekitar 135 M) dan hampir pada saat yang bersamaan juga nampak dalam surat Clemens yang kedua. Hal ini berarti kewibawaan ucapan-ucapan Yesus sama dengan kewibawaan dengan Perjanjian Lama. Bahkan lebih awal dari ini, pada permulaan abad ke-2 Injil-injil dipandang sebagai tempat terakhir untuk meminta nasihat apabila terjadi ajaran-ajaran yang berbeda.
Untuk itu dikatakan bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang dalam perjalan masa. Dalam perjalanan dan penelitian sepanjang masa seorang dari Lyon bernama Irenaeus sebagai orang pertama yang berbicara tentang Perjanjian Baru. selanjutnya bukan berlebihan apabila dikatakan bahwa Perjanjian Lama adalah dogma dasar dari gereja; yakni menggambarkan suatu kesaksian tentang Allah dalam Yesus Kristus. Dengan demikian Lohse menyimpulkan hanya dalam penentuan Kanon Perjanjian Baru memperlihatkan bahwa hanya dari kitab suci inilah gereja dapat mencapai pengetahuan yang sah dan mengikat mengenai penyataan dalam Yesus Kristus.
Jadi keputusan-keputusan teologis yang dibuat ketika Alkitab Perjanjian Baru dikanonisasikan, diikat untuk mengarahkan pada refleksi selanjutnya dan pengakuan iman atau disebut kredo sebagai berikut : Aku percaya di dalam Allah Bapa, (yang) Mahakuasa; Dan di dalam Yesus Kristus, satu-satunya Anak-Nya diperanakkan, Tuhan kita, dan di dalam Roh Kudus, gereja yang kudus, kebangkitan daging. Pengakuan iman ini pada umumnya di dalam kekristenan adalah sama dan penyataan iman ini sebenarnya adalah lebih penting untuk melawan gnostik dan ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran Alkitabiah.
Berbicara kanon dan iman sangatlah penting agar aliran diluar kekristenan tidak dapat memalsukan isi kebenaran dari Alkitab. Seperti pendapat aliran (bidat) Gnostik tidak mengakui Yesus sebagai “kalam menjadi manusia” alasannya adalah tidak mungkin sebab dunia materi adalah jahat dan tidak mungkin Allah yang suci mau datang ke dunia najis . Untuk itu adalah benar bahwa Alkitab berwibawa dan kanon yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan oleh seluruh kekristenan.

D. Ajaran tentang Dosa dan Anugerah
Pokok diskusi berikut ini adalah menyangkut konsepsi tentang manusia dan juga pokok yang berhubungan dengan penebusan. Di dalam melakukan iman Kristen memperlihatkan baik kekhususannya maupun perbedaannya dengan agama-agama lain, khususnya Yudaisme. Secara umum dapat dikatakan, bahwa Yudaisme tidak mengenal dogma-dogma atau, paling tidak mengenai satu dogma, yaitu bahwa Tuhan adalah satu-satunya Allah dan bahwa disamping Dia tidak ada ilah-ilah lain.
Dengan demikian iman yang diketahui Yudaisme dikatakan sangat berbeda yakni konsep keselamatan yang hanya ada pada iman sebagaimana adalah anugerah Allah sendiri yang turun keatas manusia, namun bukan berarti segala perbuatan sia-sia tetapi justru karena iman maka ada ketaatan untuk berbuat baik atau mengikuti perkataan Allah di dalam Alkitab. Bagi seseorang sepertiYustinus Martyr, dosa dipahami sebagai suatu kesesatan dan hal melupakan hal-hal yang baik.
Kasus lain nampak pada Tertulianus, seorang teolog besar dari Afrika Utara, yang mempunyai pengaruh besar atas perkembangan ajaran Trinitas dan Kristologi. Sebagaimana ajaran tersebut memperlihatkan ajaran tentang dosa warisan, dan apabila dibandingkan dengan para teolog lain pada zamannya. Menurut dia, kejahatan itu terdapat pada jiwa manusia. Bahkan anak-anak kecilpun tidak dapat dikatakan manusia yang bersih dari dosa. Tertulianus, tidak kurang dari yustinus Martyr dan para teolog lainnya, tetap menekankan manusia bebas.
Pendapat Origenes mengenai dalam hal ini beda lagi, dikatakan bahwa jiwa-jiwa yang bersifat pra-ada yang telah jatuh dari hadapan Allah dan kemudian dipenjarakan dalam materi yang diciptakan. Namun pada abad ke-4 khususnya para teolog-teolog dari Kappodikia yakni Gregori dari Nyssa, bahwa konsepsi tentang Origenes tidak dengan gamblangnya diterima. Selain itu perbedaan pendapat datang lagi dari Theodore dari Mopsuestia dengan menolak ajaran tentang dosa warisan. Tetapi menurutnya kematian adalah nasib manusia yang tidak terelakkan sesudah Allah menyatakannya sebagai hukuman karena dosa Adam. Selanjutnya disebut apa yang diberikan Kristus (dengan kematian-Nya) bukanlah pembebasan dosa warisan tetapi untuk memperoleh kedudukan untuk hidup selamanya.
Namun tidaklah hanya sampai disini saja, menurut Pelagius dosa warisan tidak ada. Ia mengatakan dosa warisan hanyalah sebagai bentuk perbuatan Adam yang buruk dan yang ditiru oleh banyak orang. Itu sebabnya Pelagius katakan walaupun Adam jatuh dalam dosa, tetapi manusia tetap mempunyai kemungkinan untuk hidup dalam kehidupan yang bebas dari dosa. Dosa dapat dihindari dengan mengikuti perintah Allah atau hukum ilahi. Hal ini mengakibatkan anugerah tidak dipandang sebagai yang menebus dosa, dan anugerah dipahami Pelagius manusia dikaruniai akal dan, dan pada pihak lain bahwa manusia diberikan hukum ilahi. Secara tegas Pelagius, mengatakan bahwa anugerah adalah apabila manusia sanggup untuk dari dirinya sendiri menggenapi hukum Allah.
Pendapat ini juga mendapat tanggapan dari seorang teolog bernama Augustinus, berkata anugerah berkaitan dengan penebusan. Kemudian lebih lagi bahwa Pelagius memahami anugerah sebagai sesuatu pengampunan dosa. Alasan semua perkataan Pelagius adalah karena berpusat pada teologinya yakni kemahadiran Allah dan kebenaran Allah. Hal lain yang tidak dapat dilupakan dari perkataan Pelagius ialah bahwa rasio sebagai suatu kriteria dari kebenaran ajaran, selanjutnya ia membangun suatu sistem berdasarkan pandangan-pandangan yang dalam zaman permulaan hanya dipegangi secara kasual.
Perkataan Augustinus dalam pembahasan yang tajam ini menekankan terhadap kenyataan, bahwa anugerah Allah diberikan secara Cuma-Cuma, murni sebagai pemberiaan kasih-Nya. Kesinambungan anugerah dengan pahala sama sekali tidak ada, demikianlah kontroversi ini berlanjut dan belumlah selesai. Berhubungan dengan ini aksi orang-orang Afrika bersepakat untuk tetap memehami anugerah sebagai pembawa kepada kehidupan yang kekal dengan iman kepada Kristus. bukan itu saja, mereka mengumandangkan “suatu pelanggaran terhadap hal-hal yang dianggap keramat kalau menolak anugerah ilahi atau menjanjikan kehidupan kekal kepada anak-anak tanpa babtisan”. Demikian halnya perkataan J. Verkuyl; bahwa amanat Reformasi adalah adalah rumusan dalam kata-kata : Sola Gratia, sola fidei, sola scriptura .
Maka keputusan sinode Kartago diadakan menurut konsep mereka, orang Kristen senantiasa tergantung pada bantuan anugerah ilahi, akhirnya pendapat atau pengajaran Pelagius dan Augustinus tidak dapat diterima sebagai status dogmatic di Kartago.
- Masa 1517 (reformasi)
Kontroversi tidak terhapus dari ingatan sejarah kekristenan yang kemudian muncul Teolog reformator yaitu Luther yang memaknai dosa bersifat total dan pribadi dan hanya oleh anugerah ada keselamatan di dalam Yesus Kristus. Tetapi bagi gereja Katolik keputusan-keputusan kontroversi-kontroversi Pelagius dan semi Pelagius mempunyai makna yang besar, yang pada akhirnya bahwa suatu Augustianisme yang bersifat moderat diakui secara resmi dalam Gereja Roma.
Dengan berbagai cara para teolog yang terdahulu memikirkan dalam pemecahan kontroversi tentang dosa dan anugerah, dan akhirnya Luther pada abad pertengahan yang pertama kali mengatasi kelemahan pemahaman Augustinus mengenai dosa itu dan sesungguhnya memperkembangkan ajaran tentang dosa. Luther dengan sadar akan perbedaan pendapat tentang dosa dan anugerah antara Augustinus dan pelagius, dan berkata, memandang seluruh manusia entah sebagai “daging”, ataupun sebagai “jiwa”, tergantung pada apakah seseorang itu telah diperbaharui atau belum oleh iman kepada Allah.
Pemahaman Luther mengenai dosa dikatakan bersifat total dan pribadi, sebagai mana yang diperbuat oleh manusia dengan seluruh keberadaannya, dan karena itu, pada akhirnya mempunyai makna yang sama dengan ketiadaan iman dan ketiadaan kepercayaan akan Allah. Dengan cara yang meyakinkan dalam Alkitab, Luther berkata dosa berarti tidak hanya karya tubuh lahiriah, tetapi juga seluruh kegiatan yang menggerakkan seluruh kegiatan yang menggerakkan manusia untuk melakukan hal-hal itu, yaitu hati paling dalam dengan segala kuasanya.

E. Firman dan Sakramen
- Gereja mula-mula
Dalam hubungannya dengan kontroversi-kontroversi besar mengenai ajaran tentang Trinitas, Kristologis, dan tentang dosa dan anugerah, merupakan suatu-kesatuan, sejauh keputusan-keputusan tersebut telah menghubungkan baik Timur maupun Barat. Jadi keputusan-keputusan tersebut sebenarnya menampilkan suatu warisan yang dipunyai oleh gereja-gereja Yunani, Roma dan Protestan secara bersama.
Bagi kaum Donatis (gereja yang memisahkan diri dalam masa pemerintahan Konstantinus Agung) berpendapat bahwa gereja adalah suatu persekutuan yang mencakup hanya pria dan wanita yang tidak melakukan dosa-dosa yang mematikan dan bagi alasan ini hanya iman yang memang bebas dari dosa seperti itu sajalah yang dapat melayankan sakramen secara sah. Kata Yunani untuk sakramen mysterion (misteri, rahasia), jumlah sakramen yang paling penting dikatakan, yakni babtisan dan perjamuan kudus. Dalam kata latin sacramentum mempunyai makna khusus bagi perkembangan minat dalam teolog yang kemudian mengenai sakramen-sakramen.
Sementara Perjanjian Baru dikatakan, tidak memakai konsep “sakramen” yang inklusif untuk Batisan dan Perjamuan kudus. Secara singkat dikatakan, bahwa segera sesudah periode Perjanjian Baru Perjamuan kudus itu dipandang sebagai suatu “kurban” dan bahwa pengungkapan ini, yang pada mulanya berarti kiasan, berangsur-angsur dipahami secara harafiah. Sehubungan dengan itu, menurut Ireneus tidak berpikir bahwa Kristus sendiri dikorbankan sebagai kurban. Ia berpendapat, bahwa sebagai akibat atau hasil kata-kata institusi, maka roti dan anggur dipandang sebagi tubuh dan darah Kristus.
Beda lagi menurut Ciprianus, uskup Kartago berkata bahwa tubuh dan darah Kristus adalah pemberian-pemberian persembahan yang dipersembahkan oleh para imam. Seterusnya pemikiran gereja mula-mula mengenai sakramen altar atau mezbah mencapai suatu tahap tertentu dalam Ambrosius. Tulisan-tulisannya berisikan pernyataan-pernyataan tranmutasi (perubahan) dari “elemen-elemen” roti dan anggur yang mengikuti ucapan-ucapan tertentu dari teologi Yunani. Menurutnya roti dan anggur diubah oleh kata-kata konsekrasi menjadi daging dan darah Kristus.
Pada akhirnya dikatakan bahwa ajaran tentang sakramen dapat dipahami secara luas oleh gereja karena karya Augustinus . juga dalam hal ini, abad-abad pertama, demikian juga gereja pada umumnya, berhutang budi kepada Augustinus.
- Firman dan sakramen dalam ajaran Augustinus
Defenisi sakramen menurut Augustinus adalah “firman ditambahkan pada unsur, dan dengan demikian menghasilkan sakramen, seolah-olah sakramen itu sendiri merupakan firman yang kelihatan. Demikian halnya Augustinus dan Ambrosius dikatakan pernah secara bersamaan setuju bahwa sakramen sesungguhnya adalah tanda-tanda. Sakramen yang sah menurutnya adalah apabila babtisan dilakukan dalam nama Allah Tritunggal, diakui dan dibabtiskan dalam persekutuan. Bila ada pembatisan yang tidak sesuai dengan pendapat Augustinus maka hal itu adalah pekerjaan bidat-bidat dan tidak sah. Hanya bila seseorang sesat, atau bidat menjadi anggota gereja Katolik maka sakramen itu mempunyai efek.
Makna teologi yang dasariah dari Augustinus mengenai sakramen-sakramen secara jelas terlihat dalam konsepsinya tentang perjamuan Kudus. Kekuatan sakramen menurutnya ada dua hal yakni : pertama, sakramen mempunyai daya yang menyebabkan seseorang tetap di dalam Kristus, dan kedua, atas hubungannya dengan gereja. Maka perjamuan Kudus dikatakan sebagai simbol dari satu tubuh Kristus, dan siapa pun yang termasuk pada tubuh Kristus memakan tubuh-Nya dan meminum darah-Nya.
- Kontroversi-kontroversi mengenai Ekaristi selama abad pertengahan
Kontroversi pertama mengenai Perjamuan Kudus muncul sebagai akibat satu buku yang dikarang oleh Paschasius Radbertus (sekitar 798-856), seorang rahib Konven Korbi di Prancis. Dalam pemahaman dan pengertian sakramen menurut Radbertus sejalan dengan apa yang dikatakan Augustinus, tetapi pada kemudian hari Radbertus mendapat perlawanan dari Radbanus Maurus dan Ratramnus (780-856), yang mendapat jabatan sebagai Uskup Agung Mainz dalam tahun 847. Kemudian membedakan cara pandang pemahaman sakramen dengan pemahaman Radbertus, berkata bukan tubuh dan darah Kristus tersembunyi dibawah bentuk roti dan anggur, tetapi hanya “tubuh spritual dan darah spritual Kristus”.
Selanjutnya Kurban Misa itu hanya dimaksudkan untuk mengekalkan ingatan terhadap kurban Kristus yang terjadi diatas kayu salib. Roti dan anggur adalah “gambar-gambar”, yaitu tanda-tanda peringatan.
Kontroversi kedua yang ditimbulkan oleh ajaran Berengar mengenai perjamuan selama abad pertengahan. Ia seorang teolog yang terkenal dan kepala sekolah di Tours, ajaran beliau katakan bahwa perjamuan Kudus itu dapat disebut suatu simbolisme yang antirealistik. Selanjutnya ia katakan Perjamuan Kudus sebagai akibat sari konsekrasi imam, roti dan anggur berubah menjadi sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus.
Karena pengajaran Berengar lebih terkenal pada masa itu namun tidak sesuai dengan pendapat para teolog lainnya atau dianggap bertentangan, maka suatu sinode yang bersidang pada tahun 1050 mengutuk ajaran-ajaran Berengar dan diekskomunikasikan (dikucilkan). Kemudian muncul pandangan yang baru dan berusaha mengakhiri kontroversi ini yakni seorang teolog bernama Humbert berpendapat Kristosentrisme jauh lebih bermakna dari pada penjelasan mengenai Perjamuan yang timbul dikemudian hari. Demikian hal para reformator Luther, Zwingli dan Calvin tetap mengambil-alih interpretasi yang bersifat Kristosentris.
- Perkembangan selanjutnya dari ajaran mengenai sakramen-sakramen
Persoalan yang dibahas dan penting adalah mempunyai sangkut-paut dengan jumlah sakramen-sakramen. Sampai pada abad ke-12 masih belum terdapat kepastian mengenai jumlah sakramen-sakramen tersebut.
Menurut Peter Damiani misalnya, seorang asket dan teolog penting, menghitung tidak kurang dari 12 sakramen, yang terdiri dari : babtisan, konfirmasi, pengurapan orang sakit, penahbisan orang-orang uskup-uskup, pengurapan raja-raja, penahbisan gereja-gereja, pengakuan iman, penahbisan para kanonis, penahbisan para biarawan, para asket, dan biarawati, penahbisan pernikahan. Setelah Peter juga Petrus Lombard seorang guru teolog pada sekolah katedral di Notre Dame, yang kemudian diangkat menjadi uskup, dikemukakan bahwa sakramen ada tujuh yakni, Babtisan, konfirmasi, Perjamuan Kudus, pertobatan, pengurapan, Penahbisan para imam dan pernikahan.
Untuk menjamin sakramen siapa yang lebih tepat maka, dibutuhkan pendefinisian arti sakramen. Menurut Hugo yang merupakan ahli teolog mengatakan bahwa sakramen adalah “suatu unsur badaniah atau material yang ditempatkan dihadapan manusia tanpa menampilkan keserupaan dan memaknakan institusi dan berisi pengudusan beberapa anugerah yang nampak dan yang bersifat spritual. Lain halnya dengan Augustinus yang mengatakan sakramen mengandung anugerah. Demikian halnya dengan Petrus Lombard mengatakan bahwa sakramen adalah tanda anugerah Allah dan bentuk dari anugerah yang tidak nampak. Tidak sampai disitu, tetapi Thomas Aquinas juga memberi pendefinisian sebagai “unsur” dan “firman”.
Mengenai dampak sakramen-sakramen dalam perkembangannya kontoversi ini maka, Petrus Lombard memberi penjelasan sebagai tanda-tanda dari anugerah itu. Sedangkan menurut Skholastisisme dampak dari sakramen adalah sebagai pengantara anugerah. Juga menurut kaum Dominikan dan Frabsiskan bahwa sakramen dikatakan mempunyai dampak kalau dilaksanakan. Dan yang kemudian dikatakan bahwa kepenuhan imanlah yang menyelamatkan dan tidak dipandang sebagai suatu prasyarat bagi penerimaan sakramen-sakramen.
Kontroversi diambil alih oleh Reformasi dan mengakui sakramen menurut Injil adalah babtisan dan Perjamuan Kudus yang ditetapkan oleh Yesus. definisi sakramen bagi mereka adalah sebagai firman.

F. Pembenaran
- Era Reformasi
Bagi Luther pembenaran hanya ada di dalam anugerah yang di imani, dan pusat sentral dari era Reformasi adalah di dalam pembenaran ini. tetapi menurut ajaran Katolik pembenaran manusia sebagian tergantung pada kebenaran yang terdapat dalam manusia itu sendiri, dan untuk ini karya mempunyai makna yang besar. Kemudian Luther mengambil dasar dari Alkitab yakni menurut Rasul Paulus (Roma 4 : 5) bukan manusia yang mencari Allah; tetapi Allahlah yang di dalam anugerah-Nya yang menyelamatkan itu mendatangi manusia. Hal ini Luther katakan sebagai pembenran karena ajaran Katolik Roma yang selalu mempertahankan pandangannya “perbuatan-perbuatan sebagai prasyarat untuk menerima pengampunan dosa, yang ditandaskan juga iman diletakkan pada tempat yang diduduki oleh pahala-pahala.
- Calvin dan Gereja Reformed
Tentang pembenaran calvin dengan tegas mengatakan kaum Protestan tidak boleh mengikuti Misa Perjamuan Katolik (sakramen), sementara ajaran Calvin mengenai perjamuan bergerak di antara ajaran-ajaran Luther dan Zwingli. Pandangannya mengenai perjamuan adalah lebih dari sekedar pengakuan iman jemaat. Bersama-sama dengan Luther, ia mempertahankan pandangan tentang kehadiran yang nyata dari Kristus dalam perjamuan. Bagi Calvin perjamuan hanya ada di hadiri oleh Roh Kudus.
- Jawaban Roma
Gereja Roma tidak dapat menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan oleh Luther dan reformasi Gereja Katolik Roma harus berjalan lebih jauh lagi dari hanya sekedar mengucapkan kutukan “bidat”dan memberikan jawaban-jawaban yang terhadap setiap pernyataan. Hingga pada akhir konsili yang telah berulang kali dituntut oleh berbagai pihak itu berhimpun di Trente pada tahun 1545, namun tertunda, hal ini dilakukan untuk mendapat jawaban yang definitif dari jawaban Roma. Jawaban itu mengaju pada tiga masalah yakni ; hubungan antara Alkitab dan tradisi, ajaran mengenai pembenaran dan masalah kepastian keselamatan.
Kontroversi yang perlu dipikirkan oleh gereja sangatlah bervariasi yakni seorang montanus yang agamawi, berkata tajam dan berusaha ditanggapi oleh seluruh Kristen yaitu “Roh Tuhan mengaruniakan pernyataan baru lagi, yang lebih tinggi dan sempurna dari pernyataan Tuhan di dalam Alkitab .
Lalu keputusan Konsili Trente mengenai hubungan Alkitab dan tradisi diarahkan terhadap batu penjuru dari seluruh Reformasi. Kemudian mengenai pembenaran jawaban Roma adalah terra incognito (daerah yang tidak dikenal). Sama seperti Augustinus dan Thomas Aquinas, maka dekrit bersisi tiga ini memandang pembenaran sebagai suatu proses di dalam mana manusia dijadikan benar.
Selain itu menurut, kata Pfurtner, tidak ada kepastian keselamatan yang sejati dapat dicapai, kecuali “kepastian yang bersifat perkiraan” saja. Jika ada pendapat seperti ini tanpa bukti yang kuat maka, Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, ahli filsafat berkata perkataan berbentuk fondasionalisme artinya ada jawaban tetapi tidak punya dukungan sebagai bukti nyata . Selanjutnya baik katolik maupun Protestan yang telah mengadakan penyelidikan ini tidak melihat dengan terang bahwa Aquinas pada hakikatnya tidak mengajarkan kepastian keselamatan. Perbedaan antara Luther dan Aquinas pada titik ini adalah, terutama, bersifat formal. Luther memandang kepercayaan sebagai suatu unsur iman, sedangkan Aquinas pada pihak yang lain memandang iman sebagai pengetahuan yang membawa kepercayaan ke dalam hubungan dengan pengharapan.
Melihat kontroversi yang lumayan ruwet ini, pembaca mendapati perkataan yang bijak yakni adanya dialog sesama umat Kristen, seorang teolog zaman ini bernama, TH. Sumartana (Dialog Kritik dan Identitas Agama, 2004 : 16-17) yang mengatakan dialog muncul untuk menanggapi situasi tertentu yang menuntut orang untuk memilih bekerjasama dari pada berkonfrontasi untuk saling mengalahkan dan saling membasmi. Kemudian serasa bercanda berrkata dengan dialog “kami mencari kebenaran lewat kebetulan” .
G. Dogma Di Dalam Katolisisme Mutakhir
Pemahaman tentang dogma, Gereja Katolik Roma adalah satu-satunya persekutuan Kristen yang dalam zaman modern ini mengumumkan dalil-dalil iman yang dipamahi sebagai dogma yang mengikat. Maka Gereja Roma mengklaim hanya merekalah yang melanjutkan sejarah dogma tanpa terputus. Karena itu konsili Trente sangat bermakna bagi Roma karena berhubung dengan arah sejarah dogma.
- Konsepsi tentang Maria tanpa noda (Immaculata)
Dua atau tiga dogma Katolik Roma yang ditetapkan dalam periode modern mempunyai kaitan dengan Mariologi. Ketaatan dan penghormatan terhadap Maria menduduki tempat yang sangat terhormat dalam Katolisisme modern. Menurut ajaran Katolik mutakhir, empat pernyataan mengenai Maria merupakan bagian-bagaian iman yang diperlukan bagi keselamatan. Yang dimaksud adalah, bahwa Maria melahirkan Allah. Artinya ialah ibu Allah; bahwa Maria tetap perawan, bahkan kalau ia pun melahirkan Yesus; bahwa ia di kandung Immaculata atau tanpa noda ; dan akhirnya, bahwa ia diangkat ke sorga.
Namun hal itu berbeda, menurut Perjanjian Baru yang tidak mengenal secara khusus hal kesalehan Maria. Perjanjian Baru juga tidak mempunyai Mariologi. Baik Matius maupun Lukas. Mariologi selanjutnya dikembangkan selama Abad Pertengahan. Penyembahan terhadap Maria, yang di dalam gereja kuno pada pinggiran (feriperi), dan menjadi sebuah kelaziman. Menyembah Maria sama halnya dengan menyembah ibu kedukacitaan, ratu sorgawi, pengantara dalam setiap kesulitan. Tetapi hal ini ditentang oleh Anselmus bapa skolastisisme, mengatakan bahwa Maria dikandung dalam dosa dan tunduk di bawah dosa warisan; hanya Kristus saja yang tidak berdosa.
Demikian halnya dengan Luther, mengatakan Maria hanya menduduki posisi “pengantara antara Kristus dan orang-orang lain. Masalah ini dengan semangat ditanggapi oleh Alesander VII, menyatakan bahwa “perawan Maria yang sangat dianugerahi itu dalam saat pertama dari pengandungannya, oleh satu anugerah yang unik dari Allah yang mahakuasa dan oleh pertimbangan oleh jasa-jasa Kristus Yesus Juru selamat umat manusia, dibebaskan dari segala noda dosa warisan.
- Infabilitas Paus
Selama Abad Pertengahan adalah mungkin bagi paus-paus untuk memperkuat kedudukan mereka dalam segala arah. Dalam konflik yang berkepanjangan dengan para Kaisar, tampil sebagai pemenang. Dalam bulla yang terkenal dari tahun 1302, yang berjudul Unam Sanctum, Paus Bonafacius VIII memformulasikan secara lebih tajam klaim paus atas kekuasaan ; kedua “pedang”, baik spritual maupun temporal, dikatakan berada dalam tangan gereja. Yang pertama dijalankan oleh gereja oleh gereja, sedangkan yang terakhir dilakukan bagi gereja. Menurut bulla itu, seseorang yang ingin diselamatkan perlulah menundukkan dirinya kepada kepausan Roma. Juga berhak mengangkat dan memberhentikan uskup-uskupnya. Di dalam (Sejarah Gereja, H berkof dan I. H. Enklaar : hal, 1-4 ) mengakui di dalam dunia Timur sudah merupakan suatu kebiasan untuk tunduk kepada Kaisar bahkan kaum awam menganggap berasal dari pada dunia ilahi .
Tetapi hal ini mendapat kritikan dari Luther yang mengatakan pretensi Paus yang menempatkan dirinya sebagai pengganti Kristus, yaitu dengan memproklamasikan atau menyalahgunakan Firman Allah sesuai dengan kepentingannya sendiri. Namun konsili Vatikan I tetap mempertahankannya bahwa status dogmatis bukan saja terhadap infabilitas paus, tetapi juga terhadap keuskupannya yang bersifat universal. Lebih tajam dikatakan Paus adalah “paderi sejati dari Kristus, kepala dari seluruh Gereja, bapa dan guru dar seluruh orang Kristen.
H. Dogma dalam Protestanisme
Sebuah pertanyaan yang dilontarkan adakah sejarah dogma dalam protestanisme? Diakui bahwa suatu sejarah dogma lebih mudah di dapati dalam Katolisisme mutakhir di banding Protestanisme. Hal ini digambarkan, karena terdapat kesulitan yang tidak bersatu. Lebih jelas tidak ada satu konfesi yang bersifat seragam di dalam Protestantisme, yang di dalam makna dan artinya dapat di samakan atau dibandingkan dengan dogma-dogma dari gereja purba atau dengan tulisan-tulisan konfesional dari Reformasi. Untuk itu, maka kelihatannya paling baik bahwa protestantisme sejarah dogma di pandang sebagai sudah berakhir pada saat reformasi.



- Abad Ortodoksi
Keunikan Ortodoksi dalam sejarah dogma dikatakan terletak pada acuan teologi sistematis, yang sangat berpengaruh. Misalnya dalam hubungan dengan penetapan mengenai relasi antara akal dan penyataan serta terletak dalam ajaran tentang Kitab Suci.
Kaum dogmatisi Ortodoksi bahkan merumuskan suatu seri kriteria yang dengannya inspirasi diakui. Di dalam dogmatikanya David Hollaz (1648-1713) membeda-bedakan antara kriteria yang bersifat lahiriah dan yang batiniah. Diantara kriteria yang bersifat lahiriah adalah umur dari tulisan, terang khusus yang dimiliki oleh “bantuan-bantuan penulis” yang kudus (yaitu para penulis), tujuan mereka untuk kebenaran dan pandangan, kemuliaan tanda-tanda mujizat yang dengannya ajaran tentang Alkitab yang bersifat sorgawi didukung, kesaksian yang sepakat mengenai keilahian Alkitab oleh suatu gereja yang mengelilingi bumi, ketekunan para martir, dan hukum-hukum pahit yang dikenakan kepada mereka yang menghina dan mencela firman ilahi.
Seterusnya, di dalam acuan kriteria yang bersifat batiniah, Hollaz berpikkir tentang misalnya, kemuliaan Allah yang menyaksikan diri-Nya sendiri di dalam Alkitab, mengenai yang agung dan pentingnya gaya kitab-kitab kanonik, mengenai kebenaran dari ucapan-ucapan alkitabiah dan mengenai cukupnya Alkitab untuk keselamatan kekal.
I. Keesaan Gereja
- Tujuan sejarah dogma
Perkembangan yang terjadi selama berabad-abad semua gereja-gereja membuat konsepsi masing-masing khususnya dalam masalah dogma. Namun menurut gereja Katolik Roma, masalah keesaan gereja menduduki tempat yang sentral di dalam protestantisme modern. Tetapi tidak dapat diragukan, bahwa dalam zaman sekarang keesaan gereja menjadi tema sentral dari sejarah gereja dan dari sejarah dogma, hampir sama pada masa lampau dimana mengenai ajaran Trinitas, Kristologis, dan ajaran mengenai Dosa dan Anugerah, atau masalah pembenaran merupakan sentral pula.
Kekhasan bagi sejarah dogma dikatakan dengan menghargai secara baru totalitas iman Kristen. Itu sebabnya, iman Kristen adalah kepercayaan yang harus bersatu dulu, sehingga dalam perjalanan waktu barangkali jalan baru dapat ditemukan untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.
- Gerekan Oikumenis
Dengan bijak juga, bahwa gerakan Oikumenis mengajak gereja-gereja untuk saling mendekat satu sama lain. Hal lain yang dijabarkan konstitusinya, bahwa dewan Gereja-gereja sedunia “adalah suatu persekutuan gereja-gereja yang menerima Tuhan kita, Yesus Kristus, sebagai juru selamat”. Gereja Oikumenis mencari persekutuan dengan mereka yang terpisah-pisah oleh batas-batas gerejawi, tetapi yang tetap merupakan bagian dari persekutuan satu tubuh Kristus.
Menurut DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia) tidak merasa puas dengan jawaban diatas, maka mereka mencita-citakan pelayanan, kesaksian dan persekutuan. Basis yang merupakan pemberian DGD dikatakan sebagai suatu persekutuan gereja-gereja yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat menurut Alkitab, dan karena itu berusaha untuk bersama-sama memenuhi panggilan bersama mereka demi kemulian Allah, Bapa, Putra dan Roh Kudus.
J. Kesimpulan
Setelah membaca maka saya menanggapi perlu kembali kepada masalah penafsiran Alkitab dan seberapa kuat otoritas penafsiran tersebut terhadap pendekatannya. Tentu penafsiran bisa saja salah tetapi paling tidak penafsiran siapa yang paling mendekati isi Alkitab. Tujuan penetapan dogma bukan juga semata-mata untuk kepentingan suatu kelompok tetapi demi terhambatnya pengajaran-pengajaran yang keliru atau menyesatkan kekristenan.
Menurut pemahaman dan rasa peduli pembaca terhadap dogma Kristen mengusulkan atau mencari sama-sama dogma yang oikumenis supaya pertikaian berhenti dan dapat mempraktekkan rasa kepedulian kepada sesama manusia yang disebut “Kasih”. Seterusnya, kalaupun tidak ada dogma yang oikumenis namun lebih penting saling menghargai pendapat yang berbeda.
Seterusnya sikap dan tanggung jawab sebagai pembaca saya memberikan pendapat bahwa kanon Alkitab berisikan iman kepada Kristus dan pengakuan iman ini menjadi dasar dogma setiap kekristenan. Tradisi bukan berarti kredo tetapi iman. Dogma boleh saja beda tapi pengakuan akan ketuhanan Kristus tidak dapat ditolak, selain itu dapat dikatakan aliran yang berbeda dari kekristenan atau menyimpang.
Demikianlah permasalahan dan perbedaan pendapat para teolog pada masa itu, konsep dosa dan anugerah baru terungkap dengan jelas setelah kedatangan Yesus kebumi dan pengorbanannya dikayu salib membuat para para teolog mengerti bahwa anugerah adalah hasil dari pemberian Allah bagi penebusan setiap dosa manusia di dalam iman kepada Yesus Kristus.











Daftar Pustaka

Aritonang, Jan S. 1996. Berbagai Aliran di dalam Gereja dan di Sekitar Gereja Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Verkuyl, J. 1966. Gereja dan Bidat-bidat, Jakarta : BPK
Rattu, Yopie M. 2003. Modul Ajaran Bidat, Bandung : INTI
Daun, Paulus. 1997. Bidat Kristen Dari Masa ke Masa, Manado : Daun Family
H berkof dan I. H. Enklaar. 1988. Sejarah Gereja, Jakarta : BPK Gunung Mulia
Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg. 2002. Filsafat dari Perspektif Kristiani, Malang : Gandum Mas,
Interfidei / Sumartana, TH. 2004. Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Jogjakarta : DIAN

Tidak ada komentar: